Minggu, 23 Oktober 2011

Maafkan aku suamiku (pertama).


Diawali dengan saling bercerita antar teman yang dimulai dari cerita ringan tentang masalah yang pernah aku dan S alami mulai dari pengalaman kantor yang boleh dikatakan biasa-biasa saja, sampai pada cerita tentang pengalaman keluarga masing-masing. S Dimata saya orangnya terbuka, enak diajak bercerita sehingga tanpa terasa aku mau bercerita malah boleh dikatan curhat tentang masalah keluarga, baik menyangkut aku dan suami serta anak2 bahkan keluarga yang lain dari suamiku. S pun demikian sehingga tanpa sungkam masing-masing bercerita tentang pribadi dan rumahtangga masing-masing tanpa ada rasa yang menghalangi keterbukaan di antara S dengan aku. S umurnya sekitar 9 tahun diatas umurku  namun waktu itu, aku melihat S sangat romantis dan care sekali denganku. Ini tentu saja merupakan  yang sangat menarik bagiku, karena selama itu suamiku jauh lebih memperhatikan kepentingannya yakni kepentingan kantor dibandingkan dengan waktu yang diberikan kepadaku selaku seorang istri. Perhatian yang dibrikan oleh S ini tidak terasa telah mulai mergarahkan hatiku untuk juga memperhatikannya.
Di kantor kami pada waktu itu boleh diakatan ada 3 generasi. Generasi umur 50an, generasi umur 40an dan generasi 30 an ke bawah. S berada pada generasi umur 40an namun dari perilakunya cukup supel karena bisa bergaul bahkan bercanda dengan generasi yang 50an dan juga dengan generasi 30an kebawah dengan sangat menyenangkan. Dari perilaku S yang aku  gambarkan di atas, harus dengan jujur kukatakan bahwa aku mulai tertarik dengan S dibandingkan beberapa teman yang seumur denganku yang juga mencoba merayuku, bahkan dengan sebuah perbuatan yang nekad pernah ingin melecehkanku dengan cara memaksa. Tentu saja kutolak mereka mentah-mentah. Hal inipun pernah aku utarakan kepada S ketika kami saling bercerita pada suatu waktu. S menanggapinya dengan bijaksana, S katakan kadang lelaki memang nekad tanpa memperhitungkan situasi. S katakan, bahwa aku tanpa sadar dengan keramahan yang biasa kutunjukkan kepada siapa saja, termasuk S sendiri sangat menggoda bahkan terkesan gampang untuk didapat jika dirayu, padahal sesungguhnya tidak demikian. Katnya aku termasuk sosok yang ramah, romantis namun sulit untuk didapat dengan sebuah rayuan yang gombal, karena aku mempunyai prinsip yang sangat kokoh. Weleh-weleh, rasanya aku tersanjung lagi dengan pujian S yang dikemukakannya tanpa terlihat ada rayuan gombal yang dilancarkan oleh S padaku saat itu. S kembali memperoleh point tambahan dihatiku.
Pada suatu hari di tahun 2005, S menghampiri saya dan katakan, “ ada kerrja apa sih d irumah sehingga S melihatku cepat sekali meninggalkan kantor setelah selesai jam kantor?” S memang seorang pekerja keras, yang hampir setiap hari umumnya pulang paling akhir dari teman kantor yang lain, padahal S sendiri tidak pernah memperhitungkan uang lembur yang harus dibayarkan kepadanya. Aku katakan sebenarnya dirumah tidak ada hal serius yang perlu dikerjakan, aku hanya ingin cepat beristirahat di rumah. S lalu mengajakku  kalau boleh sore nanti sudi menemaninya karena dia sendiri. Ternyata, saya juga mau dan bersedia menemaninya.
Hari itu, sorenya saya menemani S bekerja. Kami saling bercerita sebagaimana biasanya kami bercerita. Dalam suasana kami bercerita S menyampaikan bahwa sebenarnya dia sayang juga kepadaku. Aku berpikir, ini hal biasa yang dilakukan oleh S ketika dia bercanda. Tapi ternyata kelihatannya S serius. Terus trang saja aku berkata tidak tapi hati kecilku menyambutnya dengan tangan terbuka, bak jatuh cinta dikala remaja. Ini mungkin yang dikatakan orang tai kucing mulai terasa coklat. Aku sudah tahu bahwa S pun telah nekad merayuku tapi untuk beberapa hari kedepan aku mau menemaninya bekerja dalam keadaan suasana kantor yang sudah sepi. Terus terang aku jujur bahwa waktu itu aku mulai jatuh cinta dengan S walaupun aku sadar dan tahu bahwa kami berdua sudah mempunyai kel masing-masing.
Bersambung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar